SAUM DAN KESEHATAN
SAUM DAN KESEHATAN
DALAM perspektif kesehatan rohani (jiwa), saum Ramadan
mendidik jiwa seorang mukmin untuk meningkatkan kualitas ketakwaannya kepada
Allah SWT. Ramadan menguatkan jiwanya menjadi seorang yang tegar, pantang
menyerah dalam menjalani kehidupan.
Saum
membersihkan rohani kita dengan menanamkan kesabaran, kasih sayang, pemurah,
berkata benar dan jujur, beramal ikhlas, disiplin, menghindari sifat tamak dan
rakus, percaya kepada diri sendiri, mendidik sportivitas yang tinggi, dsb. Oleh
sebab itu, para ulama menamakan pula Ramadan dengan sebutan Syahrut Tarbiyyah
(bulan Allah mendidik manusia).
Hanya
saja, sering kali manusia terjebak dan dikuasai hawa nafsu dalam menjalani
kehidupannya; terjebak pada nafsu harta, takhta, dan wanita. Manusia yang
menjadi hamba hawa nafsu, tidak lagi melihat sesuatu dengan kacamata benar dan
salah, baik dan buruk, halal dan haram. Dampaknya, manusia model ini
mengganggu, merusak, dan merugikan orang lain.
Saum
Ramadan pada hakikatnya juga adalah memerangi hawa nafsu dalam arti
mengendalikannya, bukan membunuh hawa nafsu. Berperang melawan hawa nafsu
merupakan perjuangan yang berat, kata Rasulullah saw., jika dilakukan tanpa
niat yang tulus dan ikhlas hanya untuk menggapai rida Allah semata.
Kekalahan
manusia dalam mengendalikan hawa nafsunya, maka ia akan menuhankan hawa nafsu
itu, akibatnya manusia menjadi sesat dan menyesatkan orang lain. Inilah inti
ayat Alquran yang menegur manusia untuk tidak terjebak pada hawa nafsu (QS
45:23)
Saum
Ramadan, pada intinya mendidik manusia mengendalikan hawa nafsunya. Saum
membuat jiwanya kuat, manusia memperoleh derajat yang tinggi di sisi-Nya dan
inilah yang menjadikannya mampu membuka pintu-pintu langit, sehingga segala
pinta dalam doa yang dimohonkannya pasti dikabulkan Allah SWT. Rasulullah saw.,
bersabda, "Ada
tiga golongan orang yang tidak akan ditolak doa mereka, yaitu doa orang saum
sampai ia berbuka, doa seorang pemimpin yang adil, dan doa orang yang
dizalimi." (HR Tirmidzi).
Dalam
konteks ini, Rasulullah saw. menyatakan bahwa perut kita harus dibagi menjadi
tiga, sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk air dan sepertiga untuk udara.
Simaklah Alquran Surah Al-A'raaf ayat 31) dan sabda Nabi Muhammad saw.,
"Kita ini adalah kaum yang makan bila lapar dan makan tidak kenyang."
Berdasarkan
ayat Alquran dan hadis di atas, maka saum Ramadan berpotensi dalam mencegah
penyakit akibat dari pola makan yang berlebihan. Hikmah saum Ramadan yaitu:
1.
Mengistirahatkan sejenak organ pencernaan manusia selama sebulan, karena saat
tidak saum maka pencernaan di dalam tubuh manusia telah bekerja keras.
2.
Tubuh melakukan detoksifikasi (mengeluarkan zat-zat yang berbahaya bagi tubuh).
Saum Ramadan memberikan batasan bagi kalori yang masuk ke dalam tubuh manusia,
sehingga tubuh dapat menghasilkan enzim-enzim antioksidan yang bermanfaat untuk
membersihkan zat-zat beracun dan karsinogen dan kemudian mengeluarkannya dari
dalam tubuh manusia. Di samping meningkatkan jumlah sel darah putih yang
berfungsi menangkal penyakit dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh.
3.
Menyeimbangkan kadar asam dan basa dalam tubuh serta memperbaiki fungsi hormon,
meremajakan sel-sel tubuh, dan meningkatkan fungsi organ tubuh.
Kegiatan
ibadah Saum hendaknya disempurnakan dengan menyegerakan berbuka dan
mengakhirkan sahur. Aktivitas itu menjadi sangat penting dalam perspektif
kesehatan. Rasulullah menganjurkan ketika berbuka dengan memakan dan minum yang
manis. Wallahu a'lam bishshawab.
SAUM
DAN KEBERSIHAN
Oleh
K.H. Abdullah Gymnastiar: Sumber Pikiran Rakyat On Line
BULAN
Ramadan adalah bulan pelatihan, bulan training center yang seharusnya dapat
dimanfaatkan untuk membuat akhlak dan pribadi kita menjadi lebih bersih dan
indah. Ramadan merupakan sebuah kesempatan yang telah Allah berikan bagi kita
untuk memperbaiki sikap dan perilaku kita. Pantang bagi kita menyia-nyiakan
perpindahan detik demi detik di bulan Ramadan ini tanpa amalan apa pun. Ramadan
ini sungguh sangat berharga bagi kita sehingga kita harus memperhitungkan agar
setiap ucapan, pikiran, dan perilaku kita menjadi amal saleh.
Mari
kita awali bulan Ramadan ini dengan menata kebersihan diri, melatih diri untuk
senantiasa hidup bersih lahir batin adalah suatu tuntunan yang harus dijalani.
Namun, langkah itu sangat bergantung pada keseriusan dan tekad diri kita
sendiri. Pola hidup bersih harus berawal dari diri sendiri. Mulailah berlatih
hidup bersih dari hati, lisan, sikap, dan tindakan.
Berusahalah
agar setiap untaian kata yang keluar dari lisan kita penuh makna. Hindari
kata-kata kotor, keji, dan tidak senonoh. Sebab, setiap kali kita bicara kotor,
layout wajah bisa mendadak berubah menjadi buruk. Makin bersih hidup kita, kita
akan semakin peka. Coba lihat cermin yang bersih! Satu titik noda menempel
padanya akan cepat ketahuan. Akan tetapi kalau cermin kotor, penuh noda dan
debu, digunakan untuk melihat wajah sendiri saja susah. Makin bersih diri kita,
insya Allah kita akan lebih peka melihat aib dan kekurangan diri sendiri.
Bahkan, kita akan lebih peka terhadap peluang amal dan ilmu. Sebaliknya, bagi
yang kotor hati, jangankan untuk melihat kekurangan orang lain, melihat
kekurangan diri saja tidak mampu.
Orang
yang hidup kotor, sekalipun sering melanggar larangan Allah, tidak pernah
merasa diri banyak dosa. Dia tidak pernah merasa bersalah dan mempunyai
kekurangan. Kesalahan dia lihat pada orang lain melulu. Itulah buah dari hidup
kotor. Harta kotor, pikiran kotor, dan kelakuan kotor menghasilkan ”cermin”
kotor. Hidup seperti ini tentu sangat jauh dari kebahagiaan dan kemuliaan.
Nabi
Muhammad saw., adalah figur pribadi yang bersih tubuh, bersih pikiran, bersih
ucapan, dan bersih hati. Tutur kata beliau penuh makna, jauh dari sia-sia. Akan
tetapi, sikap dan penampilan beliau juga senantiasa rapi, bersih, dan
bersahaja. Setiap kali berwudu, Rasulullah selalu bersiwak (menggosok gigi).
Sesudah makan, beliau juga bersiwak dan menjelang tidur pun beliau bersiwak.
Rasulullah
tekun memelihara kebersihan tubuhnya. Tidak ada satu pun keterangan yang
menyebutkan bahwa tubuh beliau kotor dan kusam. Bahkan, keringatnya pun harum.
Saking harumnya, menurut salah satu riwayat, sampai-sampai istri beliau sangat
ingin menampung keringatnya.
Dalam
urusan-urusan kecil pun Rasulullah senantiasa memberikan keteladanan. Beliau
menganjurkan kita agar menggunting kuku serta membersihkan bulu-bulu tubuh.
Paling tidak, hal itu dilakukan setiap hari Jumat. Dalam hadis, Rasulullah saw.
bersabda, ”Sesungguhnya Allah itu Baik dan menyukai kebaikan, (Allah) Bersih
dan menyukai kebersihan, (Allah) Pemurah dan senang pada kemurahan hati,
(Allah) Dermawan dan senang kepada kedermawanan.” (H.R. Turmudzi).
Dengan
demikian, tidak ada lagi alasan untuk menunda-nunda hidup bersih. Mari kita
jadikan detik demi detik di bulan mulia ini menjadi saat kita mampu
membersihkan lisan kita, pandangan kita, hati kita, dan harta kita.
Mudah-mudahan
uraian ini dapat membuat kita semakin bergairah dalam menata diri menjadi
pribadi bersih. Sebab, yang kita perbuat sebenarnya adalah pancaran dari kalbu
kita. Seumpama sebuah teko, ia hanya akan mengeluarkan isi yang ada di
dalamnya. Jika di dalamnya air kopi, yang keluar juga air kopi. Bila di
dalamnya air teh, yang keluar juga air teh, begitu seterusnya. Begitu pula
dengan perilaku lahiriah kita adalah cermin kalbu kita yang sesungguhnya.
Ibadah
saum Ramadan, saat kita dituntut semaksimal mungkin untuk dapat mengendalikan
hawa nafsu, merupakan saat yang tepat untuk melatih kebersihan pribadi maupun
lingkungan di sekitar kita. Apabila seorang hamba kalbunya telah bersih,
bening, dan lurus, karena telah terkelola dengan baik, akan tercermin pula dari
perilaku lahiriahnya. Di antaranya dapat dilihat dari raut muka atau wajah,
karena kalau hati cerah, ceria, senang, tulus, dari wajah juga akan tersembul
pancaran ketulusan, dan senantiasa memancar energi yang membahagiakan orang
lain.
Sudah
seharusnya menjadi cita-cita jauh di lubuk hati kita yang terdalam untuk
menekatkan diri menjadi seorang pribadi bersih hati yang selalu dicintai dan
dinanti kehadirannya. Karena sungguh akan sangat berbahagia orang-orang yang
sikap dan tingkah lakunya membuat orang di sekitarnya merasa aman. Karena
perilaku kita adalah juga cerminan kondisi kalbu kita. Kalbu yang bening,
tingkah lakunya akan bening menyenangkan pula. Hal ini tiada lain buah dari
pengelolaan kalbu yang benar, sungguh-sungguh, dan istikamah insya Allah.
Selamat menikmati kebahagiaan Ramadan dan selamat berjuang menata kebersihan
diri. Wallahu a'lam.
RAMADAN WAHANA PENDIDIKAN
Oleh : Drs. K.H. HabIb Syarief
Muhammad Al-Aydrus: Sumber Pikiran Rakyat On Line
RAMADAN
merupakan bulan yang di dalamnya sarat dengan rahmat dan maghfirah Allah SWT.
Suatu bulan di mana kemurahan Tuhan betul-betul "diobral" bagi
hamba-hamba-Nya, pintu tobat terbuka lebar bagi setiap hamba yang menyadari
kekhilafannya.
Sejatinya,
puasa bertujuan membentuk manusia agar menjadi orang-orang yang bertakwa (Q.S.
2:183). Dengan kata lain, tujuannya agar manusia itu betul-betul menjadi
manusia sesuai dengan kodrat penciptaannya (Q.S. 51:56). Hal demikian
sedikitnya bisa dicapai melalui tiga pendekatan: mengenali diri (ma'rifat
an-nafs), mengenali orang lain (ma'rifat al-ghair), dan mengenali Tuhan
(ma'rifat Allah).
Ma'rifat
an-nafs atau muhasabah diri merupakan sebuah media bagi setiap individu untuk
menyelami keberadaan dirinya secara komprehensif mulai dari siapa dan dari mana
ia datang, untuk apa dan bagaimana seharusnya ia menjalani kehidupannya, dan
terakhir ke mana ia harus kembali.
Dalam
hal ini, pada dasarnya manusia terdiri dari dua unsur, jasmani dan rohani.
Tubuh manusia berasal dari tanah, dan roh (jiwa) berasal dari substansi imateri
di alam gaib. Tubuh mempunyai daya fisik atau jasmani, yaitu mendengar,
melihat, merasa, meraba, mencium dan gaya
gerak dan sebagainya sedangkan roh (an-nafs) mempunyai dua daya; daya berpikir
yang disebut akal yang berpusat di kepala dan daya rasa yang berpusat di qalbu,
yang berpusat di dada.
Daya
pikir, sepanjang sejarah Islam dipertajam oleh golongan cendekiawan dan filsuf
Islam melalui dorongan ayat-ayat kauniyah; ayat-ayat mengenai kosmos yang
mengandung perintah agar manusia banyak memikirkan dan meneliti alam sekitarnya
(Q.S. 3:190).
Sedangkan
ibadah puasa akan mempertajam daya rasa, sebab intisari puasa ialah mendekatkan
diri kepada Tuhan Yang Mahasuci yakni Allah SWT. Yang Mahasuci hanya dapat
didekati oleh roh yang suci. Puasa merupakan latihan untuk menyucikan ruh atau
jiwa sehingga semakin banyak seseorang berpuasa secara ikhlas (hanya mengharap
rida Allah), makin suci pula roh atau jiwanya. Puasa juga dapat
diinterpretasikan dengan penaklukan nafsu dan amarah dengan bersabar menahan
lapar dan haus sepanjang hari selama sebulan (Q.S.39:10).
Ma'rifat
al-ghair, dapat dilakukan dengan mengeluarkan zakat fitrah dan mal. Sebab
melalui puasa orang akan merasakan sendiri bagaimana pahit dan getirnya menahan
lapar dan haus. Jika dalam kurun waktu sebulan saja, -menahan lapar dan haus-
merupakan suatu hal yang terasa berat, bagaimana pula dengan orang-orang yang
keseharian hidupnya "dipaksa" merasakan hal tersebut secara terus-
menerus?
Dari
sini kepekaan dan solidaritas sosial akan muncul dalam diri seseorang. Ikut
merasakan penderitaan orang-orang "sekeliling" (miskin) menjadi
keharusan bagi orang yang berpuasa, hingga tidak heran jika mereka
terprioritaskan sebagai mustahik zakat (Q.S. 9:60).
Dalam
hal ini, Allah bukan hanya memberikan anjuran, namun sudah sampai pada konteks
warning, "Pahala puasa seseorang tidak diterima oleh Allah sampai dia
mengeluarkan zakat."
Adapun
ma'rifat Allah dilakukan dengan cara mengintensifkan semaksimal mungkin beragam
ritual sebagai media komunikasi dengan-Nya. Sebab pada hakikatnya, semua
kewajiban (ibadah) yang dibebankan Allah terhadap hamba-Nya memiliki
"pesan moral", sehingga pelaksanaan kewajiban seringkali tidak
dipandang bernilai jika pesan moralnya tidak tercapai, dengan kata lain
pelaksanaan kewajiban tersebut dianggap sia-sia, sekalipun sah. Dilihat dari
"kemasannya" ia memenuhi syarat, tetapi isinya tidak ada. Persis
seperti padi yang tidak berisi. Secara lahiriyah ia tampak bagus, namun ketika
dikupas tidak ada berasnya.
Begitu
pun halnya dengan puasa. Selain mempunyai keharusan meninggalkan makan, minum,
dan berhubungan seksual pada siang hari, puasa juga memiliki keharusan lain
yang bila tidak dipenuhi bisa membuat puasa menjadi tidak "berisi".
Pesan
moral inilah yang tampaknya bagi sebagian dari kita terasa berat, itu sebabnya
Nabi saw, menegaskan, "Sangat banyak orang yang berpuasa, tetapi yang
diperolehnya hanya lapar dan dahaga. ”Bahkan dalam riwayat lain disebutkan,
Nabi saw, bersabda, "Puasa seseorang menjadi tidak berguna lantaran dia
melakukan kidzb (berdusta), ghibah (ngerumpi), namimah (mengadu domba), yamiin
al ghomus (sumpah palsu), dan an nadhr bi syahwat (melihat dengan nafsu)."
(HR. Anas bin Malik).
Comments
Post a Comment